Aku Tahu Cinta Ini Terkutuk, Tapi Tak Ada Kutukan Yang Lebih Indah
Hujan kota Jakarta tumpah ruah, membasahi jendela apartemenku. Aroma kopi pahit mengepul, serupa dengan getir yang mencengkeram hatiku. Di layar ponselku, notifikasi lama berkelebat, sisa-sisa percakapan denganmu. Lin Hao. Namamu, bagai mantra yang terucap diam-diam, menggema di antara denting hujan dan kesunyian kamar.
Dulu, kita bertemu di dunia maya, di antara algoritma yang mempertemukan dua jiwa yang kesepian. Chat pertama, sapaan canggung, lalu obrolan tanpa henti hingga dini hari. Mimpi-mimpi kita bertautan, cita-cita kita saling mengisi, hingga cinta itu hadir, TAK TERELAKKAN.
Tapi cinta kita, seperti bunga Edelweiss di puncak gunung, indah namun rapuh. Terkutuk, kau bilang. Karena masa lalumu, karena janji yang kau ikat dengan orang lain. Aku tahu, dari awal aku sudah tahu. Namun pesonamu, tatapan matamu yang menyimpan samudera kesedihan, membuatku BUTA.
Kau menghilang tiba-tiba, tanpa penjelasan. Hanya pesan singkat, "Maaf." Maaf untuk apa? Untuk cinta yang kau berikan? Untuk harapan yang kau patahkan? Atau untuk semua kenangan indah yang kini terasa seperti belati yang menghujam jantungku?
Aku mencoba menghapusmu, Lin Hao. Memblokir nomor ponselmu, menghapus semua foto kita, bahkan menghindari semua tempat yang mengingatkanku padamu. Tapi bayanganmu, SELALU ADA. Dalam setiap tetes hujan, dalam setiap cangkir kopi, bahkan dalam mimpi-mimpi burukku.
Beberapa bulan kemudian, aku tak sengaja melihatmu di sebuah kafe. Kau bersama seorang wanita, cantik dan anggun. Kalian tertawa, saling menatap penuh cinta. Hatiku remuk. Aku ingin berteriak, ingin menamparmu, ingin menanyakan kenapa. Tapi aku hanya diam, membiarkan air mata mengalir tanpa suara.
Kemudian, aku tahu. Aku tahu rahasiamu. Wanita itu, tunanganmu. Kalian akan menikah. Dan alasanmu menghilang, karena kau TAK INGIN menyakitiku lebih dalam. Sungguh mulia, Lin Hao. Tapi luka ini, TERLALU DALAM.
Aku memutuskan untuk membalas. Bukan dengan amarah, bukan dengan kebencian. Tapi dengan senyuman. Dengan kebahagiaan palsu yang ku pamerkan di media sosial. Foto-foto liburan mewah, pakaian desainer, teman-teman yang tertawa bahagia. Aku ingin kau tahu, aku BAIK-BAIK SAJA tanpamu.
Dan puncaknya, sebuah pesan terakhir. Aku mengirimkan foto diriku, mengenakan gaun pengantin putih, berdiri di depan altar. Senyumku lebar, mataku berbinar. Di bawah foto itu, aku menulis: "Aku bahagia. Akhirnya, aku menemukan kebahagiaanku sendiri."
Tanpa kata balasan. Hanya tanda centang dua berwarna biru.
Aku meletakkan ponselku. Memandang keluar jendela. Hujan sudah reda. Langit mulai cerah. Aku tersenyum. Senyum yang tulus, bukan senyum palsu yang selama ini kupakai. Aku telah melepaskanmu, Lin Hao.
Aku telah membebaskan diriku.
Namun, aku masih bertanya-tanya, apakah kebahagiaan ini nyata, atau hanya ilusi belaka?
You Might Also Like: Witness Sky Scraping Saga Constructing