Seru Sih Ini! Di Antara Seribu Lampion, Hanya Satu Yang Membawa Namaku



Cahaya lampion menari-nari di langit malam, memantulkan kerlip bintang yang tak terhitung jumlahnya. Di tengah keramaian Festival Lentera, berdiri Li Wei, seorang wanita yang pernah dikenal karena senyumnya yang sehangat matahari musim semi dan hatinya yang seluas samudra. Dulu. Dulu, sebelum cinta dan kekuasaan meremukkan dirinya menjadi serpihan kenangan yang pahit.

Li Wei, yang dulu adalah putri kesayangan Jenderal Agung Li, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. Kaisar, yang dulunya berjanji akan memberikan seluruh dunia padanya, kini menjadi musuh bebuyutannya. Kaisar Xu, yang merebut tahta dari ayahnya dengan darah dan pengkhianatan, yang menggunakan cintanya sebagai senjata untuk menghancurkan seluruh keluarganya.

Namun, seperti bunga teratai yang tumbuh di lumpur, Li Wei menemukan kekuatan di tengah reruntuhan. Luka menganga itu tidak membunuhnya, melainkan mengasah ketajamannya. Ia bagaikan pedang yang ditempa dalam api kemarahan, meskipun wajahnya tetap memancarkan ketenangan yang memesona. Kelembutan adalah topengnya, kekuatannya adalah rahasianya.

Ia kembali ke istana bukan dengan amarah yang membabi buta, melainkan dengan ketenangan mematikan. Ia mempelajari seluk-beluk istana, menguasai seni diplomasi, dan membangun jaringan sekutu yang tak terlihat. Setiap senyumnya adalah strategi, setiap kata yang terucap adalah racun yang manis.

Li Wei tidak ingin darah. Ia ingin keadilan. Ia ingin Kaisar Xu merasakan sakit yang sama, kehilangan yang sama, kehancuran yang sama, tapi tanpa setetes pun darah tertumpah.

Malam ini, di puncak Festival Lentera, Li Wei berdiri di balkon istana. Seribu lampion melayang ke langit, masing-masing membawa harapan dan impian. Namun, di antara seribu lampion itu, hanya satu yang membawa namanya. Satu lampion, yang diukir dengan aksara tersembunyi, akan menjadi pemicu dari kejatuhan Kaisar Xu.

Ia melihat Kaisar Xu berjalan menghampirinya, tatapannya penuh cinta, atau mungkin hanya nafsu dan ambisi yang menyamar. Li Wei tersenyum, senyum yang kali ini bukan topeng. Senyum kemenangan.

"Indah, bukan?" gumam Kaisar Xu, menunjuk ke arah lampion-lampion yang bertebaran.

"Sangat indah," jawab Li Wei, matanya terpaku pada satu lampion yang terbang paling tinggi, cahayanya berkedip seolah mengejek. "Dan segala sesuatu memiliki harga."

Kaisar Xu tertawa, tidak menyadari bahwa tawa itu mungkin adalah tawa terakhirnya sebagai seorang Kaisar.

Malam semakin larut, dan lampion dengan nama Li Wei akhirnya mencapai tujuannya. Sebuah sinyal.

Li Wei menatap Kaisar Xu, tatapannya dingin dan tanpa emosi. "Dulu, aku adalah bidakmu. Sekarang, aku adalah ratu dalam permainanku sendiri."

Di kejauhan, terdengar gemuruh yang semakin mendekat. Bukan gemuruh guntur, melainkan gemuruh pasukan yang setia padanya, pasukan yang menunggu perintahnya, pasukan yang akan merebut kembali apa yang telah direbut secara tidak adil.

Kaisar Xu akhirnya menyadari apa yang sedang terjadi. Matanya membulat, wajahnya pucat pasi. Ia mencoba berbicara, namun suaranya tercekat.

Li Wei berbalik, membiarkan Kaisar Xu tenggelam dalam kebingungannya. Ia melangkah pergi, meninggalkan aroma bunga plum yang menjadi ciri khasnya.

PERMAINAN BARU SAJA DIMULAI.

You Might Also Like: Jual Skincare Lokal Berkualitas Beli Di

Post a Comment

Previous Post Next Post